Disaat aku masih kecil, biasanya anak-anak SMA dijadikan "Panutan" untuk generasi selanjutnya. Karena, kalau menurutku, SMA adalah masa dimana para remaja berani bereksplorasi dan mencari "jati diri". Makanya gak heran kalau ada seorang anak yang gak sabar untuk berumur 15-18 tahun. Tapi lucunya, disaat umur sudah mendekati 25 tahun, rasanya seperti dikejar "Penagih Hutang". Paham Kan Maksudnya?
Buat temen-temen yang umurnya udah kepala dua, mungkin paham apa yang aku bicarakan. Bahkan mungkin beberapa dari kita sering mendengar beberapa pernyataan ini:
Umur 25 tahun aku harus udah nikah
Umur 25 tahun aku harus udah punya rumah
Umur 25 tahun aku harus udah punya kerjaan tetap di perusahaan besar
Umur 25 tahun aku harus udah punya gelar S2
Dan lain-lain
Sejujurnya, tidak ada yang salah dengan pernyataan/impian/target tersebut, hanya saja, hal itu telah membuat mayoritas penduduk Indonesia menjadikan angka 25 sebagai angka "sakral" dimana kita harus segera mencapai impian-impian kita.
Aneh gak sih kita dikasih target untuk bisa mencapai semuanya diumur 25 tahun? Padahal (misalnya) lulus kuliah S1 aja di umur 22 tahun, baru kerja disaat umur 23 tahun. Gimana caranya bisa mencapai semua itu dalam 2 tahun?
Si Buku "Pembuka Mata"
Seminggu kemarin, aku membaca sebuah buku dari David Epstein yang berjudul "Range: Why Generalists Triumph in a Specialized World" (Artinya: Mengapa Generalis Menang dalam Dunia Terspesialisasi).
Buku ini memberikanku perspektif baru terhadap hidup di dunia ini. Aku tidak bisa memberikan poin-poin yang aku dapatkan dari buku tersebut, karena ilmu nya akan sulit kalian dapatkan dan mengerti kalau tidak dibaca secara menyeluruh. Jadi, aku sangat menyarankan teman-teman untuk membacanya.
Namun, secara garis besar, yang aku bisa bagikan ke teman-teman adalah:
JANGAN PERNAH MERASA TERTINGGAL. Bandingkanlah Dirimu dengan Kamu yang KEMARIN, BUKAN dengan ORANG LAIN yang lebih muda YANG jelas-jelas BUKAN KAMU.
Tulisan ini memang lebih mudah diucapkan daripada dilakukan, tapi tetap saja kita harus ingat ini.
Mungkin tidak sedikit dari kita yang melihat "kesuksesan" orang lain di media sosial atau internet. Dan ujung-ujungnya malah menyalahkan diri sendiri. Misal:
Wah, temanku udah punya bisnis online yang sukses. Aku masih begini aja.
Wah, temanku udah dilamar/nikah. Lah aku? Pacar aja gak punya.
Wah, temanku bisa jalan-jalan keliling Indonesia setiap hari. Aku kerjaannya ke kantor mulu tiap hari, lembur pula. Cuti juga gak dapet banyak.
Dan lain-lain.
Tenang, ini normal kok, karena banyak orang pasti mengalaminya. Tapi masalahnya, ini adalah KEBIASAAN TIDAK SEHAT.
Kisah Cinderella
Tiba-tiba aku teringat masa kecilku, dimana aku menyukai film Cinderella. Kenapa?
Jadi, kita tahu kan kalau Cinderella diberikan cobaan berat, yaitu memiliki ibu tiri dan saudara tiri yang jahat? Itu adalah ujian hidupnya. Tapi, karena Cinderella menghadapi ujian tersebut dengan kesabaran dan tetap menjalani kebaikan, pada akhirnya kebenaran akan terungkap. Dan akhirnya, hidup Cinderella menjadi bahagia.
Nah, kalau kita anggap Cinderella adalah seorang manusia yang berada di era media sosial, dimana kita gak tau perjalanan hidup / ujian yang dialami Cinderella, bisa saja kita bilang "Wah enak ya, Cinderella hidupnya bahagia di istana, nikah sama pangeran, dan gak perlu kerja. Lah aku? Gini-gini aja." -- Tuh kan? Ujung-ujungnya bandingin lagi kan?
Tapi, kalau kita lihat dari sisi film, kita bisa menganggap bahwa kebahagiaan yang Cinderella raih di akhir cerita, merupakan hasil dari jerih payah dia untuk bertahan hidup walaupun dianiaya dikeluarganya sendiri. Bahkan, Cinderella bisa kita jadikan PANUTAN/MOTIVASI UNTUK MENJALANKAN HIDUP. Bukan untuk membandingkan hidup kita dengan dia.
Coba deh, lihat kehidupan orang lain di media sosial seperti kamu menonton film, yang jelas-jelas kamu tau SEBAB-AKIBAT nya. Tapi, karena kebanyakan orang hanya menggunakan media sosial untuk menunjukkan sisi bahagianya saja, jadi, HARUS KITA lah yang COBA PAHAMI bahwa:
"Kita GAK AKAN TAU ujian/cobaan apa yang mereka hadapi dibelakang kebahagiaan mereka. Dan belum tentu kita kuat menghadapi cobaan yang mereka alami. Karena SETIAP ORANG PUNYA JALANNYA MASING-MASING."
Kesimpulan
Menurut pandanganku, keberadaan Media Sosial di era sekarang tidaklah salah, tapi juga tidak sepenuhnya benar. Karena menurutku, Media sosial bersifat NETRAL SEPERTI PISAU -- Kalau digunakan untuk hal positif, bisa memberikan dampak positif. Begitupun sebaliknya, jika digunakan untuk hal negatif, akan memberikan dampak negatif. Intinya, Kembali lagi ke MANUSIAnya mau gimana?
Nah, kalau teman-teman bertanya, "Bagaimana caranya menghadapi 'Quarter Life Crisis'?" Ini adalah versiku:
Kenali diri sendiri (Self-Awareness).
Perluas Wawasan dan Variasikan Pengetahuanmu dengan Bidang Lain. Karena gak ada yang namanya kata "terlambat" atau "terlalu tua" untuk belajar hal baru.
Perbanyak Konsumsi Hal Edukatif. Misal: membaca buku, mendengarkan podcast, membaca blog, menonton Film/YouTube, dan lain-lain. Karena gak ada hal yang sia-sia.
Beranikan diri untuk Keluar dari Zona Nyaman, Karena Nyaman itu Jebakan. Minimal celupkan jari-jari kakimu pada pengalaman baru / hal yang awam.
Kalau teman-teman masih bingung harus mulai darimana, bisa mulai dari membaca beberapa artikel blog ku sebelumnya, siapa tau bisa membantu mencerahkan hehe:
Semoga bermanfaat dan terima kasih untuk teman-teman yang telah membaca! :)
Comentários